2 DOSEN INSTIKA PRESENTASIKAN PAPERNYA DALAM SEMINAR NASIONAL UTM

INSTIKA Kamis, 13 Oktober 2016 11:32 WIB
2231x ditampilkan Berita

Bangkalan - Instika - Dua dosen Instika, Dr. Tatik Hidayati, M.Ag. dan M. Mushthafa, MA., mempresentasikan papernya dalam Seminar Nasional III bertema: “Madura: Perempuan, Budaya, dan Perubahan”, Selasa (11/10/2016) yang lalu di Gedung Pertemuan Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Bangkalan.

Mereka mempresentasikan papernya karena sebelumnya telah mengirimkan paper untuk diseleksi oleh panitia dan lolos. Merekapun diundang untuk mempresentasikannya di hadapan peserta yang lain.

Sekitar 50 dosen dari berbagai perguruan tinggi Indonesia yang hadir ke acara ini. Mereka semua, selain untuk mempresentasikan makalahnya yang lolos seleksi dalam seminar tersebut, juga untuk mendengarkan penyampaian pembicara utama, yakni Huub de Jonge, D. Zawawi Imron, dan Prof. Mien A. Rifai.

Namun sayang, tutur M. Mushthafa, Huub de Jonge tidak bisa hadir.

Judul paper Dr. Tatik Hidayati yang dipresentasikan ialah, “Perlawanan Perempuan Subaltern Pada Kawin Anak: Studi Terhadap Tradisi Ngala’ Tumpangan di Dungkek Sumenep”. Sebagaimana dilaporkan, paper ini ingin mengangkat fenomena kawin anak atau pernikahan dini anak perempuan di bawah umur yang terjadi karena tuntutan tradisi.

Tradisi yang dimaksud di sini adalah tradisi ngala’ tumpangan (mengambil kembali sumbangan pada acara pernikahan yang sudah diberikan kepada saudara, tetangga, atau kenalan yang sudah melakukan hajatan terlebih dahulu).

Dalam penelitiannya ini, Dr. Tatik menemukan bahwa seringkali tradisi ini merugikan anak perempuan karena untuk ngala’ tumpangan orang tua harus menikahkan anaknya terlebih dahulu meskipun anaknya masih di bawah umur. “Sehingga lebih mementingkan nilai pragmatism’ dibanding nilai yang ada pada tujuan pernikahan sebagaimana dalam agama,” tulisnya dalam papernya.

Melalui pembacaan kritis, Dr. Tatik ingin mengungkap ketidakadilan terhadap anak perempuan yang dilakukan orang tua dalam tradisi ngala’ tumpangan, dan bagaimana anak perempuan melakukan perlawanan atas tradisi itu. Melalui penelitiannya ini, Dr. Tatik menginginkan tradisi tetap berlangsung di masyarakat dengan catatan tidak mengorbankan anak perempuan melalui kawin anak.

Sementara itu, paper M. Mushthafa, MA. berjudul, “Pesantren dan Pelestarian Bahasa Madura: Potensi, Masalah, dan Tantangan”. Dalam papernya ini, M. Mushthafa mengungkap kegelisahannya terhadap bahasa Madura yang semakin terpinggirkan dikarenakan pada saat ini tidak ada lembaga yang benar-benar serius menjaga dan melestarikan bahasa ibu ini.

Bahkan pesantren yang awalnya menunjukkan sumbangan besar terhadap pelestarian bahasa Madura, misalnya melalui pengajian kitab kuning yang menggunakan bahasa Madura sebagai pengantarnya dan penerjemahan kitab klasik ke dalam bahasa Madura sudah semakin jarang.

Menurut Dekan Fakultas Ushuluddin Instika ini, hal tersebut terjadi salah satunya karena munculnya sistem pendidikan formal (sekolah formal) yang semakin kukuh di lingkungan pesantren. Saat ini, dalam pandangan Mushthafa, hanya pesantren yang santrinya relatif sedikit yang cenderung menggunakan bahasa Madura sebagai pengantar dalam sistem belajar-mengajarnya.

Tentu hal ini sangat tidak ideal dan dilematis karena pesantren seperti itu relatif sulit terjangkau instansi pemerintah yang berperan melestarikan bahasa ibu.

Dalam penelitiannya ini, M. Mushthafa membangun harapan kepada pesantren yang memiliki rekam jejak ratusan tahun melestarikan bahasa Madura dalam kegiatan belajar-mengajarnya sebagai tempat (lembaga) utama yang tetap menjaga dan melestarikan bahasa ibu.

“Kiranya sangat penting untuk merevitalisasi lembaga pendidikan yang telah berusia ratusan tahun ini untuk tetap berkontribusi bagi pelestarian khazanah bahasa Madura. Tentu saja ini membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan dan kebudayaan yang ada di Madura,” lapornya. (Masykur Arif/LP2D)

 

Sumber Gambar: Akun FB Dr. Tatik Hidayati, M.Ag.